Wisdom from Expert

Saturday, January 26, 2008

Mereka Mencari Rumus Tuhan I

Written by Emha Ainun Nadjib
Sunday, 10 September 2006

Meneruskan tulisan tentang anak-anak muda kita yang atheis, saya ingin mengungkapkan beberapa segi lain supaya ada gambaran lebih jelas. Ada dua hal, sementara apa yang menjadi ancang-ancang penulisan ini. Pertama, pengembaraan tema seperti ini sesungguhnya membutuhkan analisa-analisa yang memperhatikan segi theologis, psikologis, dan faktor-faktor kesejahteraan tertentu yang multi-konteks.

Namun, dengan tulisan ini saya membayangkan sedang omong-omong karib saja dengan Bapak-Ibu, saudara dan sahabat-sahabat di rumah-rumah kampung, di daerah-daerah, desa-desa. Kita ngobrol sederhana saja. Kedua, tema ini amat sensitif untuk situasi politik keagamaan di negeri kita, dan (harus kita akui) ia lebih sensitif lagi di kalangan ummat islam, ya kita-kita ini. Trauma G.30.S - lepas dari bagaimana sesungguhnya data - kesejarahannya - telah menumbuhkan dikalangan masyarakat suatu ketidaksenangan dengan kadar amat tinggi terhadap atheisme.

Ini merupakan tema tersendiri, tetapi yang terpenting dengan tulisan ini saya berada jauh dari menyarankan suatu kebencian. Anak-anak selalu dilahirkan hanya oleh ibunya, artinya setiap gejala selalu merupakan tahap proses dari gejala sebelumnya. Ibu yang baik akan memperlakukan setiap gejala, seberbahaya apapun, dengan penglihatan yang jernih, hati penuh kesabaran, dan cinta kasih. Kebijaksanaan tak pernah kehabisan alasan untuk tak bersyukur : Maha Suci Allah bahwa mereka sempat membenci-Nya dan lantas tak mempercayai-Nya, bahkan tak percaya bahwa Ia ada. Kebencian, ketidakpercayaan dan negasi, adalah satu bentuk hubungan, suatu model mu'amalah ma'allah juga, meskipun arah prinsipnya bisa seakan-akan menggambarkan keadaan putus, serta meskipun si pelakunya sendiri tak pernah mengakui bahwa itu suatu bentuk perhubungan dengan Allah. Tentu saja, demikian absolutnya Allah, sehingga baik orang yang mengakui-Nya, tak pernah sedetik pun pernah terlepas dari kaitan dengan-Nya, meskipun seseorang bisa tak tahu dan tak mengenal keterkaitan itu. Jadi, demikian Abdurrahman Wahid, pernah berkata, jangan dimaki kalau mereka membenci dan tak mempoercayai Tuhan, siapa tahu itu adalah proses menuju cinta yang mutlak mempercayai-Nya, lebih dari sebelumnya.

Alhasil, kita diuji.

Mari kita lihat petanya. Harus dibedakan antara tak percaya kepada Tuhan dengan tak percaya adanya Tuhan. Yang pertama dalam keadaan di mana seseorang tetap (masih) percaya akan adanya Tuhan, tapi tak mempercayai, misalnya, peranan Tuhan , janji-janji-Nya, juga sifat-sifat-Nya, dalam kenyataan hidup manusia. Ini barangkali merupakan semacam rasa sakit hati kesejarahan, muncullah rasa putus asa bahwa problematika ruwet kehidupan ummat manusia ini akan bisa diatasi. Di kalangan mahasiswa yang ilmu pengetahuannya luwes itu, umpamanya, masih ada pertanyaan yang sangat permukaan tentang keadilan Tuhan : kalau memang Tuhan itu adil, kenapa ada kelompok masyarakat miskin dan ada yang kaya, juga kenapa semua itu dibiarkan terus.

Kita semua mengerti ini adalah pemahaman yang sangat belum memadai tentang hakekat dan nilai keadilan, apalagi nilai ketuhanan itu sendiri . Tetapi yang penting kecendrungan ini bisa mengarah kepada sikap yang kedua yakni tak percaya adanya Tuhan.

Namun sebelum membicarakan itu, kita sebut dulu kecenderungan lain yakni tak percaya pada Tuhan, ini bisa sekedar ketidak kepercayaan bahwa agama dapat memecahkan problem kehidupan manusia, misalnya soal kemiskinan, tapi juga ketidak percayaan bahwa agama itu datanag dari tuhan, dari golongan ini agama tak lebih dari rekayasa manusia biasa, bikin- bikinan orang yang menyebut dirinya sebagai nabi atau rosul. Tetapi tidak selaludengan nada negati. Bisa saja dikatakan bahwa agama itu dibikin sebagai alat untuk melawan sesuatu umpamanya melawan perbudakan dan kebodohan di zaman Muhammad, melawan penindasan dizaman Isa, dan melawan diskriminasi rasial dizaman Musa . Namun demikian, golongan ini pada umumnya tidak percaya bahwa agama bisa merupakan alternatif jalan keluar bagi masalah-masalah yang mendera dalam sejarah. Katakanlah ia bukan sebagai ideologi sosialisme yang tampil mengantiasifasi kapitalisme, orang-orang ini dengan itikad baik, biasa mengatakan “Agama tak apa-apa ada, asal dia membela kebenaran dan kebaikan”.

Ini gambaran globalnya. Alhasil ada orang yang tak percaya kemampuan agama dan peranan Tuhan. Ada orang yang tak percaya kepada keabsyahan keagamaan seperti yang dianut oleh kaum beragama, serta tak percaya kepada adanya Tuhan. Ada orang yang tak percaya kepada peranan agama tapi berharap kepada fungsi Tuhan. Ada juga orang yang tak percaya kepada adanya Tuhan namun tetapi memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai agama. Yang tak ada tentu saja adalah orang yang tak percaya orang yang tak percaya dengan adanya Tuhan, tetapi percaya kepada fungsi Tuhan. Ia tak berharap terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak ada. Namun jangan lupa bahwa ada orang yang tak percaya kepada tuhan maupun tentang keabsyahan agam, tetapi ia menaruh kepercayaan terhadap orang -orang beragama. Ia, di dalam dirinya, menilai tatanan nilai tersendiri. Sebutkan saja contoh, ia berpegang kepada nilai demokrasi : bisa saja ia jumpai potensi nilai tersebut didalam diri orang lain yang “kebetulan” menganut suatu agama, maka ia percaya kepada agama itu: dan bahwa nilai yang disebut demokrasi itu sesungguhnya bersumber dari Tuhan dan agama, adalah semata-mata urusan si pemeluk agama itu.

Demikian, ada seribu sisi mutiara dalam batin manusia. Ada berbagai kemungkinan dan kenyataan, yang tak dapat kita lihat hanya sebagai warna hitam dan putih belaka. (EAN/Progress Publisher)

BERSAMBUNG....
Last Updated ( Friday, 20 October 2006 )

No comments: