Teguh Yoga Raksa ( Aug 2012)
Kejadian yang banyak meminta korban jiwa yang terjadi di masa mudik lebaran tahun ini
menjadi pernyataan besar, apakah ini sebuah rekayasa ”sang pemilik kota” untuk
menghilangkan pendatang?. Apakah kebakaran, perampokan , pembunuhan dan kerusuhan adalah juga merupakan kejadian musiman ketika para
penghuni kota besar yang mayoritas pendatang ditinggal pendatangnya?. Apakah
ini juga tanda – tanda kemarahan kota besar yang ditinggalkan pendatangnya?,
mari kita lihat keterkaitan kedua kejadian ini dari sudut pandang
”keindonesiaan”, dimana negeri ini penuh dengan senyum,keramahan, toleransi,
kekeluargaan dan gotong royong, serta keterkaitan dengan masa depan bangsa ini.
Ketika masa “Mudik “ telah tiba
Mari kita ambil contoh kejadian yang marak terjadi saat ini dimana kebakaran terjadi hampir di
setiap sudut kota. Kebakaran hampir menghiasi setiap pemberitaan media elektronik akhir – akhir ini, setiap breaking
news ada saja berita tentang kabakaran disiarkan , kejadiannya tidak hanya
di lingkungan perumahan, bahkan kebakaran hutanpun banyak terjadi di setiap
titik di beberapa bagian negeri ini. Pemberitaan mudik tak kalah seru dengan
berita kebakaran dari H-7 sebelum hari lebaran
sampai H+7 info mudik terus disiarkan oleh hampir semua stasiun televisi
swasta di Indonesia, hal ini terkait
kemacetan, antrian di pintu tol sampai dengan desak - desakan di gerbong
kereta api disiarkan secara langsung sebagai bagian dari suguhan informasi kejadian
mudik tahun ini.
Pemudik yang bersenggolan atau bergesekan antar pengendara,selanjutnya
saling senyum dan saling memaafkan satu sama lain tanpa ada tuntutan, tanpa
makian, tanpa ada yang minta ganti rugi dan lain sebagainya. Mereka memahami
keadaan, saling toleransi dan empati, merasa bagian dari keluarga besar
pemudik, tidak ada keributan atau kerusuhan yang terjadi, padahal tentunya
suasana lebih sesak daripada menonton bola atau menonton pertunjukan musik,
yang merupakan langganan kerusuhan.
Para pemudik sepeda motor bahkan berani untuk berkendara selama berjam –
jam hanya untuk bertemu keluarga dengan segala resiko yang ada. Bagi kebanyakan orang bahkan memberikan gambaran secara tersirat bahwa bagi sebagian para pemudik yang pulang
kampung dengan sepeda motor, memang pilihan yang harus dipilih karena
keterpaksaan akibat biaya dan keterbatasan angkutan umum yang tidak terjangkau.
Toleransi dari para polisipun menyertai mereka sampai di kota tujuan, dengan
membiarkan disiplin berkendara dicendrai hanya karena empati pada pemudik, saya
bahkan bisa dengan yakin menyimpulkan bahwa mereka melakukan itu karena satu
nilai yang amat penting yaitu kekeluargaan.
Dari pemaparan di atas kita bisa lihat,tumbuhnya sikap lebih toleran ,
lebih bersahabat, lebih menjadi pemaaf adalah nilai – nilai bangsa indonesia
yang sudah tertanam sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan sejak dulu telah ”diimani” menjadi bagian dari kesuksesan
tercapainya kemerdekaan bangsa ini, sebut saja beberapa jargon – jargon yang dulu selalu kita dengungkan dalam setiap
kesempatan seperti kekeluargaan, gotong
royong dan toleransi.
Mungkin jargon – jargon itu adalah benang merah dari tradisi mudik yang merupakan bagian dari pembelajaran buat kita untuk selalu meningkatkan nilai kekeluargaan, toleransi dan gotong toyong.
Coba anda bayangkan dimana semua orang saling bahu membahu untuk menyelamatkan
rumah dari amukan api, berempati untuk menyelematkan nyawa dan harta para
tetangga, membantu tanpa saling curiga dan pamrih, toleransi satu sama lain dan
semuanya merasa bagian dari keluarga besar.
Nilai ”Keindonesian” sudah
mulai pudar
Masa SD, SMP dan SMU adalah masa yang tepat untuk penanaman nilai – nilai
luhur budaya bangsa. Saya yang melewati masa itu pada tahun 80 – 90–an selalu
teringat bahwa nilai yang sangat tertanam dalam jiwa saya atau mungkin alam
bawah sadar saya, bahwa apapun permasalahannya selalu diselesaikan secara
”musyawarah” dan ”mufakat” yang dilandasi semangat kekeluargaan. Kini nilai –
nilai itu sudah tidak ada lagi, bahkan mungkin beberapa anak SMP/SMU tidak
hafal lagi dasar negara atau bahkan lagu kebangsaan, saya sangat menyayangkan,
nilai – nilai ”keindonesian” yang universal ini mulai pudar.
Dunia pendidikan sebagain besar sudah mulai melupakan pentingnya nilai – nilai ”keindonesiaan”, lebih bangga
mengikuti sistem pendidikan kapitalis yang lebih mengutamakan keunggulan materi
dan teknologi. Nilai – nilai kejujuran ,
toleransi dan kekeluargaan mungkin suatu saat tidak akan terlihat lagi di wajah
– wajah generasi mendatang. Tidak ada lagi gambaran wajah Bung Hatta, Buya
Hamka atau Bung Karno sekalipun di wajah mereka, mereka lebih bangga dan lebih kenal pada wajah Bill Gates,
Michael Jordan atau Bahkan Warren Buffet.
Penutup
Merefleksikan dari apa yang terjadi dari tradisi mudik.., semoga
menjadikan pengingat pada kita semua
sebagai bangsa indonesia untuk selalu mencintai dan mengingat ” Keindonesian”
nya melalui nilai – nilai luhur bangsa ini. Pemerintah tentunya memegang
peranan penting dalam menentukan kebijakan terkait hal ini terutama kebijakan
pendidikan nasional yang berbasis nilai luhur bangsa, menuju bangsa yang
kompetitif , mandiri dan berbudi luhur,..semoga.